Bocah Penjual Pisang Coklat
Pada
malam itu tepatnya 3 jam sebelum hari ulang tahunku yang ke 18, aku dan temanku
pergi makan di sebuah lesehan didekat Jalan Malioboro. Kawasan ini memang
banyak pengamennya. Para pengamen silih berganti datang menghampiri kami yang
sedang menikmati hidangan. Tapi ada satu yang mencuri perhatianku, sebenarnya
dia bukanlah seorang pengamen melainkan bocah cilik penjual pisang coklat. Dari
kejauhan tampak dia sedang mencoba menawarkan dagangannya kepada semua
pelanggan yang berada didekatnya. Semakin lama maka semakin dekatlah ia pada
rombongan kami. Dengan muka polos dan lugu ditambah sedikit malu-malu dia
menghampiri kami yang sedang asik bergulat dengan makanan yang kami pesan.
Tutur kata yang lemah lembut pun terucap dari mulutnya “Permisi mas mau beli
pisangnya”. Kami pun tidak menghiraukannya ia pun pergi dari hadapan kami
sambil menenteng rantang dan kantong plastik hitam yang berukuran lumayan besar
dengan raut wajah yang sedikit kecewa. Ia mengenakan baju seragam Pramuka yang
sudah lusuh mungkin karena dia tak sempat mengganti baju sepulang sekolah.
Dalam hati kecilku sebenarnya ingin sekali aku membelinya walaupun aku sudah
merasa kenyang, ya mungkin karena iba. Tapi sedikit pun tak tergerak tubuh ini
untuk membelinya. Jangankan bergerak mengucapkan sepatah kata pun tak bisa,
tubuh ini serasa kaku. Rasa iba ini terlalu besar dan karena malu terhadap
bocah itu sehingga menghambat pergerakan tubuh ini. Ya malu karena bocah yang
masih sangat belia itu rela membuang waktu bermainnya demi membantu kedua orang
tuanya. Sementara aku hanya bisa meminta kepada orang tua tanpa pernah berpikir
betapa susahnya menari uang. Setelah kejadian itu mataku selalu tertuju
kepadanya. Aku memperhatikan setiap gerak-geriknya, ia selalu menarik nafas
dalam-dalam sebelum menawarkan dagangannya kepada orang-orang. Satu persatu
pelanggan lesehan itu ia datangi tapi tak satu pun dari mereka yang tertarik
untuk membelinya termasuk kami. Rasa ibaku pun semakin bertambah besar. Akhirnya
aku berusaha menggerakan hati dan tubuhku untuk menghampirinya tetapi usaha itu
sia-sia karena ia sudah terlampau jauh dari hadapanku hampir mendekati
persimpangan.
Aku
terus memperhatikannya, ditengah persimpangan itu ia berhenti seakan bingung
harus kemana lagi ia menjajakan dagangannya itu karena hari sudah terlalu larut
baginya. Akhirnya Ia memilih untuk berbelok kearah kanan dan menghilang begitu
saja ditengah keramaian lalu lintas Jogja. Aku merasa sangat menyesal karena
tidak membeli pisang coklatnya. Akupun pulang dengan hati yang sangat menyesal.
Sesampainya di rumah kejadian itu masih terus mengiang didalam pikiranku. Anak
itu terlalu dini untuk merasakan betapa kerasnya hidup ini. Coba bayangkan
kalau kita berada diposisinya berapa juta keluahan yang akan kita hujat atas
cobaan itu. Anak itu menjadi inspirasi terbesar bagi revolusi hidupku. Jikalau
aku menjadi dirinya pasti sepeser uang ini takkan pernahku sia-siakan untuk hal
yang tidak perlu. Renungkanlah betapa susah orang tua kita mencari uang
sementara kita hanya tahu menghamburkannya dalam sekejap. Tejerumus dalam dunia
malam yang fana semakin dalam dibekukan oleh hawa nafsu setan.